Jules Verne adalah salah satu penulis klasik
yang menurutku memiliki ide-ide cukup aneh pada masanya. Dari beberapa judul
bukunya, Twenty Thousands Leagues under the Sea, Around the
World in 80 days dan Journey to the Center of the Earth aku
memandang penulis ini cukup aneh karena mengeluarkan topik-topik seperti itu
sekitar tahun 1800an. Namun imajinasi tidak dapat dibatasi oleh masa tertentu,
imajinasi adalah hal yang paling liar yang dapat dimiliki oleh manusia. Buku
ini berawal dari sebuah ide sederhana yaitu perjalanan mengelilingi dunia,
namun ide sederhana ini berubah menjadi kontroversial karena waktu
perjalanannya dibatasi selama 80 hari. Seberapa besar dunia ini untuk tidak
bisa dikelilingi dalam waktu 80 hari? Itu pertanyaan yang mungkin sangat mudah
dijawab pada jaman perkembangan teknologi dan transportasi seperti saat ini,
namun bagaimana jika hal itu terjadi pada tahun 1872? Phileas Fogg menerima
tantangan dari teman-temannya di Reform Club untuk mengelilingi dunia dalam waktu
80 hari. Ia ditemani oleh pelayanannya, Passepartout memulai perjalanannya dari
London pada tanggal 2 Oktober 1872 pukul 2:45 pm dan terus bergerak ke timur
melewati Paris, India, Singapore, Hongkong, Shanghai, Yokohama, San Fransisco,
New York dan Liverpool. Sesuai perjanjian, ia harus tiba kembali di London pada
21 Desember 1872 pukul 8:45 pm. Mr. Fogg hanya punya satu tujuan akhir yaitu
berada tepat pada waktu yang dijanjikan di Reform Club agar ia dapat memperoleh
hadiah yang dijanjikan. Mengenai Kota dan Negara yang akan dilaluinya, ia tidak
peduli, ia hanya menghabiskan waktunya bermain kartu, melompat dari kereta api
ke kapal uap dan sebaliknya. Ia hanya mendengarkan keadaan sekitar dari
pelayanannya yang terkadang membuat kasus di setiap tempat dan cenderung
membuat Mr. Fogg gagal dalam tantangannya. Mr. Fogg harus benar-benar disiplin
dengan jadwal setiap transportasi yang ditumpanginya, terkadang ia harus
mengeluarkan extra biaya untuk mempercepat perjalanannya atau menangani
rintangan yang menghadangya. Hal ini terjadi ketika ia naik kereta melintasi
daratan india dan kereta berhenti di suatu desa kecil karena rel kereta belum
selesai dibangun. Alhasil, Mr. Fogg harus mengeluarkan banyak uang untuk
membeli seekor gajah dan menyewa orang untuk mengemudikannya menuju rel kereta
berikutnya. Ditengah petuangalannya ini, ia pun harus berhadapan dengan
suku-suku asli yang hampir membunuh seorang wanita bernama Aouda yang pada
akhirnya menjadi teman perjalanannya bersama Passepartout. Masalah dan rintangan
serta detail perjalanan Mr. Fogg digambarkan dengan sangat jelas oleh Jules
Verne.
Dari sisi karakter, Mr. Fogg adalah seorang pria yang dingin dan
tenang, tidak ada satu situasi pun yang mampu membuatnya mengekspresikan
emosinya secara berlebihan, bahkan ketika ia harus berkali-kali ketinggalan
kapal atau kereta. Ia menjaga sikapnya tetap tenang hingga membuat orang-orang
disekitarnya tampak sangat galau. Berbeda jauh darinya, Passepartout adalah
pria asal Prancis yang sangat periang dan sangat mudah cemas serta selalu
mengekspresikan emosinya apa adanya. Awalnya Passepartout tidak memahami tujuan
majikannya, ia menganggap majikannya adalah salah satu orang paling aneh yang
pernah ditemuinya, namun petualangan mereka bersama, mengubah pandangan Passepartout
terhadap Mr. Fogg. Jules Verne pun menghadirkan tokoh-tokoh seperti Mr. Fix,
seorang detektif yang mengejar-ngejar Mr. Fogg karena tuduhan pencurian. Mr.
Fix digambarkan sebagai karakter yang selalu berpikiran negative, sehingga
sebagian besar asumsinya menyelimuti cara pandangannya sehingga hal itu pun
mempengaruhi hal-hal yang dilihatnya. Ia hanya melihat hal-hal yang mendukung
asumsinya dan cenderung mengabaikan hal-hal yang bertentangan dengan asumsinya,
meskipun tampak sangat masuk akal. Uraian pengembangan karakter seperti ini
adalah salah satu daya tarik dalam buku ini. Bahkan Mr. Fogg sendiri sering
mengambil resiko gagal dalam tantangannya untuk melakukan hal-hal yang sesuai
dengan hati nurani dan tanggung jawab moralnya. Pada akhirnya hasil akhir bukan
lagi hal terpenting dalam buku ini. Perjalanan itu sendiri yang menjadi sangat
penting, apa yang dilaluinya dan bagaimana ia merespon semuanya dengan
sendirinya menciptakan hasil akhir yang memuaskan untuknya dan untukku sebagai
pembaca.
Namun secara keseluruhan, buku ini tetaplah merupakan catatan
perjalanan dengan bumbu petualangan yang memicu sedikit kecemasan dan rasa
takut, namun tetap memiliki porsi yang membuat pembaca akan berpikir
“tenang…tidak mungkin berakhir seperti itu”. Sayangnya Mr. Fogg tidak bisa
menikmati setiap tempat yang ia singgahi, mempelajari kebudayaan sekitar atau
sekedar berfoto di tempat-tempat wisata. Itu adalah hal-hal yang mungkin
kulakukan, tetapi tidak untuk Phileas Fogg.