Wednesday, 24 July 2019

Penulis Novel Around The World in 80 days Dengan Alur yang Menarik


           Jules Verne adalah salah satu penulis klasik yang menurutku memiliki ide-ide cukup aneh pada masanya. Dari beberapa judul bukunya, Twenty Thousands Leagues under the SeaAround the World in 80 days dan Journey to the Center of the Earth aku memandang penulis ini cukup aneh karena mengeluarkan topik-topik seperti itu sekitar tahun 1800an. Namun imajinasi tidak dapat dibatasi oleh masa tertentu, imajinasi adalah hal yang paling liar yang dapat dimiliki oleh manusia. Buku ini berawal dari sebuah ide sederhana yaitu perjalanan mengelilingi dunia, namun ide sederhana ini berubah menjadi kontroversial karena waktu perjalanannya dibatasi selama 80 hari. Seberapa besar dunia ini untuk tidak bisa dikelilingi dalam waktu 80 hari? Itu pertanyaan yang mungkin sangat mudah dijawab pada jaman perkembangan teknologi dan transportasi seperti saat ini, namun bagaimana jika hal itu terjadi pada tahun 1872? Phileas Fogg menerima tantangan dari teman-temannya di Reform Club untuk mengelilingi dunia dalam waktu 80 hari. Ia ditemani oleh pelayanannya, Passepartout memulai perjalanannya dari London pada tanggal 2 Oktober 1872 pukul 2:45 pm dan terus bergerak ke timur melewati Paris, India, Singapore, Hongkong, Shanghai, Yokohama, San Fransisco, New York dan Liverpool. Sesuai perjanjian, ia harus tiba kembali di London pada 21 Desember 1872 pukul 8:45 pm. Mr. Fogg hanya punya satu tujuan akhir yaitu berada tepat pada waktu yang dijanjikan di Reform Club agar ia dapat memperoleh hadiah yang dijanjikan. Mengenai Kota dan Negara yang akan dilaluinya, ia tidak peduli, ia hanya menghabiskan waktunya bermain kartu, melompat dari kereta api ke kapal uap dan sebaliknya. Ia hanya mendengarkan keadaan sekitar dari pelayanannya yang terkadang membuat kasus di setiap tempat dan cenderung membuat Mr. Fogg gagal dalam tantangannya. Mr. Fogg harus benar-benar disiplin dengan jadwal setiap transportasi yang ditumpanginya, terkadang ia harus mengeluarkan extra biaya untuk mempercepat perjalanannya atau menangani rintangan yang menghadangya. Hal ini terjadi ketika ia naik kereta melintasi daratan india dan kereta berhenti di suatu desa kecil karena rel kereta belum selesai dibangun. Alhasil, Mr. Fogg harus mengeluarkan banyak uang untuk membeli seekor gajah dan menyewa orang untuk mengemudikannya menuju rel kereta berikutnya. Ditengah petuangalannya ini, ia pun harus berhadapan dengan suku-suku asli yang hampir membunuh seorang wanita bernama Aouda yang pada akhirnya menjadi teman perjalanannya bersama Passepartout. Masalah dan rintangan serta detail perjalanan Mr. Fogg digambarkan dengan sangat jelas oleh Jules Verne.

Dari sisi karakter, Mr. Fogg adalah seorang pria yang dingin dan tenang, tidak ada satu situasi pun yang mampu membuatnya mengekspresikan emosinya secara berlebihan, bahkan ketika ia harus berkali-kali ketinggalan kapal atau kereta. Ia menjaga sikapnya tetap tenang hingga membuat orang-orang disekitarnya tampak sangat galau. Berbeda jauh darinya, Passepartout adalah pria asal Prancis yang sangat periang dan sangat mudah cemas serta selalu mengekspresikan emosinya apa adanya. Awalnya Passepartout tidak memahami tujuan majikannya, ia menganggap majikannya adalah salah satu orang paling aneh yang pernah ditemuinya, namun petualangan mereka bersama, mengubah pandangan Passepartout terhadap Mr. Fogg. Jules Verne pun menghadirkan tokoh-tokoh seperti Mr. Fix, seorang detektif yang mengejar-ngejar Mr. Fogg karena tuduhan pencurian. Mr. Fix digambarkan sebagai karakter yang selalu berpikiran negative, sehingga sebagian besar asumsinya menyelimuti cara pandangannya sehingga hal itu pun mempengaruhi hal-hal yang dilihatnya. Ia hanya melihat hal-hal yang mendukung asumsinya dan cenderung mengabaikan hal-hal yang bertentangan dengan asumsinya, meskipun tampak sangat masuk akal. Uraian pengembangan karakter seperti ini adalah salah satu daya tarik dalam buku ini. Bahkan Mr. Fogg sendiri sering mengambil resiko gagal dalam tantangannya untuk melakukan hal-hal yang sesuai dengan hati nurani dan tanggung jawab moralnya. Pada akhirnya hasil akhir bukan lagi hal terpenting dalam buku ini. Perjalanan itu sendiri yang menjadi sangat penting, apa yang dilaluinya dan bagaimana ia merespon semuanya dengan sendirinya menciptakan hasil akhir yang memuaskan untuknya dan untukku sebagai pembaca.

Namun secara keseluruhan, buku ini tetaplah merupakan catatan perjalanan dengan bumbu petualangan yang memicu sedikit kecemasan dan rasa takut, namun tetap memiliki porsi yang membuat pembaca akan berpikir “tenang…tidak mungkin berakhir seperti itu”. Sayangnya Mr. Fogg tidak bisa menikmati setiap tempat yang ia singgahi, mempelajari kebudayaan sekitar atau sekedar berfoto di tempat-tempat wisata. Itu adalah hal-hal yang mungkin kulakukan, tetapi tidak untuk Phileas Fogg.


No comments:

Post a Comment